Jrwirogas

Laki-laki, 16 tahun

Bekasi Timur, Indonesia

Orang yang berpendidikan mampu dikalahkan oleh orang yang berpengalaman
| ::

Newest Post

// Posted by :Unknown // On :Jumat, 08 Februari 2013

hai soob sudah lama tidak bertemu gimana kabarnya baik kan kalau baik saya juga bik
kali ini saya akan membahas tentang sejarah bangsa indonesia kalian tau kan negara indonesia pernah menjadi jajahan belanda dan jepang tapi kalian tau ga sejarah nya kenapa negara ini di beri nama indonesia

 

27 Oktober 1920, Komisi Negara yang didirikan di Hague pada 20 Desember 1918, mengubah draft tentang konstitusi Hindia Belanda, dan memuat laporan artikel 1 yang berbunyi: “Kerajaan Belanda meliputi wilayah di Eropa sebagaimana negeri jajahan dan kepemilikan dari bagian dunia.
Setelah disetujui pemerintah, laporan itu kemudian menjadi: “Kerajaan Belanda meliputi Belanda, Hindia-Belanda, Suriname, dan Curacao dimana dalam hukum dasar tanah jajahan termasuk di dalamnya: Hindia-Belanda, Suriname, dan Curacao”.
1 November 1921, artikel 1 itu didiskusikan dalam Second Chamber dari parlemen. Dua amandemen diajukan. Yang pertama disampaikan oleh Partai Demokrat Liberal. Isinya:
“Terdapat dua perbedaan entitas: Suriname dan Curacao. Sementara orientasi Eropa atau Eropa-sentris dilarang dan nama pra-Belanda bagi kawasan Amerika diadapsi di Timur, sebutan Hindia-Belanda tetap dipakai. Sebutan Hindia-Belanda itu telah menggabungkan wilayah yang masih mengacu secara legal sebagai kawasan Asia milik Belanda dan Australia; dibawah sebutan yang mengandung unsur Eropa dan Belanda, atas apa yang disebut sebagai sebuah kepulauan yang terentang diantara dua benua”.
“Tapi mengapa masih terikat dengan nama Hindia-Belanda? Mengapa mencantelkan sebutan Belanda bagi Hindia, ketika artikel 1 tak mengacu pada Suriname-Belanda atau Curacao-Belanda?” tanya wakil sosialis J.W. Albarda.
“Mengapa disebut demikian, seolah-olah nasib kerajaan tergantung pada nama tersebut?” Ketika menyampaikan amandemen komunis, W. van Ravesteyn terinspirasi perdebatan dalam Volksraad enam bulan sebelumnya. Dalam sebuah dewan konsultatif di Volaksraad dengan mayoritas Belanda yang dibentuk di Batavia pada tahun 1918. Dia menekankan bahwa amandemennya memperhatikan sebutan Indonesia berdasarkan mosi yang diajukan oleh van Hinloopen-Labberton, Cramer, dan Vreede di Volaksraad.
Sebagai persoalan nyata, tambahnya, Indonesie merupakan kata Belanda yang berhubungan dengan kata asli Indonesia. Meski bukan berasal dari bahasa pribumi, tapi kata itu merupakan kata asli seperti ditunjukkan dalam diskusi di tingkat geografis dan politis. Kata Indonesia, yang kemudian memakai tambahan “sebuah”, yang menunjukkan tentang penduduk, memperlihatkan bahwa bangsa tersebut merupakan milik dan menjadi identitas mereka. Sebuah identitas yang akan membawa mereka pada kemerdekaan. Sebagaimana di Belanda dan wilayah lainnya, nama Indonesie atau Indonesia diremehkan sebagai; “baru pantas bagi nama sebuah jenis cerutu”, begitulah beberapa orang menyebutnya dalam Volksraad.
Van Ravesteyn menambahkan, proposisi yang disampaikan Labberton dan dua sejawatnya merupakan masukan untuk diskusi perdana dengan partai-partai dan organisasi pribumi yang menerima dan mendapat sokongan dari beberapa tokoh seperti Abdoel Moeis dan Soetan Toemengoeng di dalam Volksraad.
Mengulang ucapan van Revestyen, Albarda mengutip ucapan Jures: “Ketika orang-orang tak bisa mengubah kenyataan, mereka mengubah kata-kata”. Dia mengacu pada sebuah salinan dalam amandemen komunis yang mengganti Koninkrijd dengan Rijk, sebuah pesan yang menurut van Ravestyen mempunyai aspek revolusioner. Albadra memanfaatkan kata “revolusioner” itu untuk menyebut kata Indonesie. “Apakah Indonesie merupakan sebuah kata yang revolusioner? Ataukah semata kata yang tampak seperti Insulinde? Kata-kata itu merupakan kata-kata yang digunakan secara umum untuk meletakkan negeri ini dalam dikusi: Hindia dan, sedikit sebutan, Oost-Indie.
Lebih jauh lagi, secara eksplisit Albarda mengacu pada laporan komisi yang mencoba melakukan pembaruan administrasi di Hindia, laporan yang mengajukan nama Hindia tanpa Belanda. Pendapat Albarda ini tidak mendapat sambutan. Bagi para orator lain (satu orang dari tiap partai utama), semua persoalan di sekitar alternatif nama tersebut membawa mereka pada pilihan antara Hindia-Belanda dan Indonesie. Seolah-olah, bagi mereka, mengubah kata-kata adalah mengubah kenyataan, atau dalam beberapa kasus, mengundang mereka ke dalam persoalan-persoalan.
Van Rickervorsel, perwakilan dari Partai Katolik, menyatakan, Indonesie dengan sebutan “e” atau “a” sebagai sebuah ilham. “Jelas-jelas saya akan bertentangan dengan pendapat tersebut”.
Sementara wakil Liberal, Dresselhuys, menyatakan, seseorang dapat mempertanyakan validitas dari sebutan Indonesie, yang saat itu terutama digunakan untuk menunjukkan wilayah geografis dan linguistik dimana Hindia-Belanda hanyalah salah satu bagiannya. Dia juga mempertanyakan kenyataan dari Hindia-Belanda sebagai entitas politis. Sebagai contoh, dapatkah Jawa dan New-Guinea diberlakukan persamaan politik? Dalam beberapa kasus, bila orang ingin mendiskusikannya, suara-suara tersebut akan keluar dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan van Ravesteyn. Satu-satunya yang diajukan amandemen komunis adalah guna melemahkan pertalian antara Belanda dan Hindia-Belanda.
Scheurer, juru bicara dari Partai Anti Revolusioner, menekankan bahwa amandemen merupakan sesuatu yang revolusioner, “Di samping saya kenal baik dengan lingkaran yang menghasilkan kata Indonesia dan siapa saja yang menyebarkannya ke Hindia. Orang-orang tersebut tidak setuju dengan aturan yang mapan. Mereka merupakan agen-agen revolusioner yang menggunakan apa saja melalui usaha-usaha kekerasan. Itu semua tak akan dilakukan di negeri ini”.
J. Schokking, pimpinan Historic Christian Union, mempertanyakan pendapat van Revesteyn bahwa Indonesia merupakan nama yang dikehendaki oleh penduduk pribumi. “Penduduk pribum yang mana? Apa yang kita punyai adalah beberapa kelompok yang menyatakan diri sebagai juru bicara penduduk pribumi. Dengan eksepsi dari kelompok-kelompok tersebut, penduduk pribumi tidak pernah mendengar Indonesia.”
Ch.J.M. Ruijs de Beerenbrouk, perdana menteri dan menteri dalam negeri, mengambil tempat dalam perdebatan, dan berbicara atas nama pemerintah. Perhatian tentang nama Indonesia, katanya, telah ditolak oleh Volksraad dengan perbandingan suara 18 melawan 5. “Kita melihat tak ada alasan untuk mengingkari Volksraad.”
Apakah kata Indonesia sesuatu yang revolusioner? Persoalan ini diajukan dalam Volksraad oleh orang-orang yang separtai dengan Albarda, bahwa masyarakat berkeinginan untuk mengeluarkan aspirasinya di lingkaran nasionalis di seberang lautan, aspirasi dari penduduk Hindia, yang membuat mereka dapat didengar. Lingkaran nasionalis tersebut dapat disebut “revolusioner”, tapi dalam hal ini, pertama-tama, kita harus setuju pada arti kata tersebut. Pidato terakhir van Revesteyn itu tak mempunyai pengaruh. Amandemennya ditolak dengan perbandingan suara 8 banding 2.
Sejak awal, laporan ini disetujui dengan nama Hindia-Belanda dalam kerangka kerja di bawah institusi konsiderasi dalam onstitusi yang diperbarui. Selanjutnya, persiapan bagi persamaan legal dari berbagai negara untuk bergabung pada kerajaan Belanda. Hindia-Belanda dapat dipahami dalam dua cara yang berbeda:
  1. Sebagai ekspresi dari apa saja dibawah kekuasaan Belanda dalam kepulauan Hindia, untuk membedakannya dengan kekuasaan lain seperti Inggris yang diekspresikan dalam “British India”.
  2. Sebagai ekpresi dari dominasi Belanda atas Hindia.
Dari contoh Inggris, sebutan “British India” hanya digunakan bagi wilayah di bawah kekuasaan Inggris langsung. Entitas tersebut menggabungkan wilayah sebagaimana di bawah kekuasaan tak langsung, berdasarkan sebutan “India”. Secara analogis orang bisa memisahkan Hindia-Belanda sebagai bagian dari Indonesia dibawah kekuasaan langsung Belanda, dan Hindia yang akan berarti semua Indonesia yang meliputi daerah-daerah yang otonom. Ini semua merupakan serangan balik bagi sebuah proyek yang hendak menyamakan status politik dari berbagai komponen dalam kerajaan. Proyek tersebut menyediakan hubungan yang didasarkan pada dominasi, dan merupakan interpretasi yang menyangkut Hindia-Belanda.
Adalah menarik untuk menjelaskan kata sifat dari Belanda. Dalam pengucapan sehari-hari, nama Hindia lebih diistimewakan. Itulah sebabnya komisi menolak sebutan Indonesie, yang etimologisnya berasal dari Yunani seperti juga Insulinde. Disamping artinya yang legal, kata tersebut berisi dua penjelasan. Pertama, ucapan estimologi Yunani tentang kata Indonesie tidak sama dengan sebutan etimologi Latin dari kata Insulinde yang berarti India. Kedua, penggunaan kata Indonesie didefinisikan sebagai kawasan dari bangsa yang disebut Indie. Para ahli geografi, antropologi, dan linguistik saat itu berusaha menjauhinya. Sebagaimana yang kemudian dijelaskan oleh Dresselhuys dalam parlemen Belanda, bagi mereka, Indonesie -wilayah- dan Hindia-Belanda bukanlah satu-kesatuan dan sesuatu yang sama.
Orang juga teringat pada peringatan dari Elisee Reclus, seratus tahun sesudah dipublikasikan (1189): “Insular India”, Insulinde atau Indonesia, seperti juga sebutan Belanda, secara juridiksi politis telah membatasi entitas. (Nouvelle Geographie Universelle, Vol XIV, ch III).
Informasi tentang perdebatan dalam komisi sebagaimana yang ditunjukan dalam laporan sekretariat sedikit sekali yang dibahas. Refleksi yang memperhatikan nama negeri tercermin dari kata pada artikel pertama konstitusi, yang segera dapat kita lihat dalam kasus parlemen Belanda, November 1921. Schumann, Presiden Volksraad, menyebut wilayah benua Belanda dengan Benua, dalam pengertian ekspansi Belanda yang lebih luas dalam skala dunia. “Kerajaan Belanda meliputi wilayah di Eropa, Amerika, Asia, dan Australia”.
Rudolf Kern, yang kemudian menjadi salah seorang penasehat gubernur jenderal dalam “Indigenous Affair” (urusan pribumi) beberapa tahun kemudian mengajukan sebuah rumusan berbeda yang cukup lengkap: “Kerajaan Belanda Raya terdiri atas beberapa bagian: 1.) Belanda, 2.) Indonesie, 3.) Suriname, dan 4.) Curacao.”
Rumusan itu mendapat kritikan, sebab mengubah ekspresi kemapanan “Het Koninkrijk der Nederland” dan pendirian kelewatan dari komisi yang membatasi Hindia. Meski mendapat dukungan dari F. van Lith, tokoh pimpinan dalam misi katolik. Selanjutnya, kata Indonesie tak menjadi subjek perdebatan.
Akhirnya pada proposal dari ch. Welter, pembantu sipil senior dan kemudian menjadi menteri negeri jajahan, komisi dengan tidak bergairah mengadopsi sebuah versi yang disederhanakan dari atikel: “Kerajaan Belanda meliputi kawasan Eropa dan dat in andere wereld-deglen.” Proposal itu menghilangkan kalimat “negeri-negeri jajahan dan kepemilikan” dari konstitusi sebelumnya.
Namun permasalahan alternatif nama Hindia-Belanda diangkat kembali oleh H.A. Kindermann. Salah seorang pegawai senior itu berpendapat bahwa diskusi yang berkembang dalam topik ini seperti menempatkan kereta sebelum ada kudanya. Kali pertama orang harus menentukan status Hindia-Belanda, apabila status tersebut semata perubahan nama. Pendapatnya tak diterima.
Kern makin menegaskan pilihannya bagi Indonesie. Sementara Hasan Djajadiningrat, satu dari 10 anggota komisi diluar 28 orang yang bukan berasal dari Belanda, menyarankan Insulinde, sebagaimana gelar yang diberikan oleh Multatuli (yang novelnya Max Havelaar diakhiri dengan sebuah permintaan pada raja Belanda, “Sang Kaisar dari Insulinde”).
Juru bicara pemerintah di Volksraad, W. Muurling, tidak punya alasan, apalagi ia yakin bahwa kata Hindia dikenakan untuk menimbulkan kebingungan. Agoes Salim, wakil dari Sarekat Islam, mempertimbangkan kata sifat dari Belanda yang digunakan hanya untuk memenuhi syarat bahwa dengan satu cara atau berbagai cara, Hindia menjadi milik Belanda. D. Talman, direktur dari Departemen Keuangan, kemudian mengajukan nama Oost-Indie.
Diantara pembicara yang berjumlah kecil, tampak persoalan sekitar nama bagi negeri jajahan tak ditanggapi dengan semangat oleh para anggota komisi. Dari 26 suara dengan 4 absen, komposisinya adalah:
  1. 4 suara lebih suka tetap memakai nama Hindia-Belanda. Mereka adalah Presiden Komisi J.H. Carpentier-Alting, dua orang senior pelayan publik Kindermann dan Welter, dan seorang pembantu sipil dari pelayan kehutanan Ritseman van Eck.
  2. 4 suara lebih suka menggunakan Indonesie, yakni Kern, Marcel Kock, dari pelayan sipil dan sosialis, Kosoemo Oetoyo dan Radjiman, dua orang perwakilan dari gerakan Jawa Boedi Oetomo.
  3. 16 suara lebih suka Insulinde, yakni 8 Belanda dan 8 anggota yang berasal bukan dari Belanda. Pendukungnya termasuk Carpentier-Alting yang memilih Insulinde, sebagaimana Talma dan 2 orang pembantu sipil senior Belanda. (Kemungkinan yang lebih suka Oost-Indie, tidak diadakan pemungutan suara).
Kata Insulinde memenangi suara mayoritas. Ini semua terjadi pada 26 April 1919. Beberapa hari kemudian, 3 Mei, kembali diperdebatkan keputusan untuk menerima Insulinde adalah tahunan, dan sebagai gantinya Hindia dipilih dengan tidak bergairah. Notulis sekretaris menunjukkan tanda tidak ada perdebatan. Hanya ada sebuah kalimat tunggal yang mengindikasikan bahwa Indier merupakan kata yang mewakili para penduduk, mengimplikasikan bahwa nama buat negeri ini adalah Hindia. Tapi tak ada kata yang menjelaskan mengapa harus Indier ketimbang Insulinder yang mempunyai arti sama bagi para penduduk. Itu disebutkan dalam sebuah laporan yang kemudian diterbitkan bahwa pilihan Indie disahkan. Teks tersebut kemungkinan sebagai hasil dari perdebatan lebih lanjut dalam subkomite yang tampak dalam draft laporan.
Menurut laporan itu, rendahnya lapisan yang berpartisispasi dalam perdebatan, dan kepuasan atas keputusan yang dijungkirbalikan, merupakan unsur-unsur yang membawa orang untuk berpikir bahwa persoalan di sekitar nama hanya mempunyai sedikit arti. Namun ketika sesi perencanaan Komisi akan berakhir, Kindermann menyatakan apa yang harus menjadi pijakan. Terdapat dua tendensi diantara kita, katanya. Yang pertama adalah orang yang secara kasar berkata, memilih kata Insulinde seperti melihat sebentuk otonomi internal di dalam negeri ini. Jadi kepastian keputusan dapat dilakukan tanpa menanti beberapa bulan dari persetujuan dari Hague, tanpa tergantung pada partai-partai politik yang berkepentingan di Belanda. Tendensi yang lain adalah orang-orang yang menginginkan sebuah sistem demokrasi di sini dan sekarang juga, seolah-olah kondisi lokal dari sebuah sistem dapat bekerja begitu saja. Tendensi-tendensi itu merupakan sesuatu yang tak realistis.
Kern menyatakan bahwa pilihannya pada kata Indonesie didasari semata alasan geografis. Sebagaimana terlihat pada laporan akhir Komisi yang menggunakan kata Indonesie. Tapi ada dualitas: Indonesie (bagian dari dunia) dan Hindia (jurisdiksi politis) telah menunjukkan ambiguitas dalam perdebatan -jika seseorang menerima analisa Kindermann: Indonesie, yang merupakan sebutan yang digunakan untuk menetapkan sebuah wilayah, sekarang telah menjadi sebuah konsep politis yang bertolak belakang dengan Hindia (atau Insulinde). Ambiguitas tersebut telah membawa kepada sebuah alternatif.
Dalam beberapa kasus, ketika Volksraad memperdebatkan perubahan dalam konstitusi terhadap Hindia-Belanda, ambiguitas terhadap sebuah alternatif makin nyata. Perdebatan pada pembaruan konstitusi merupakan teks yang dianjurkan pemerintah sebagai titik perdebatan. Proposal pemerintah bagi artikel 1 menyatakan, negeri oleh negeri, yang merupakan komponen dari kerajaan didiskusikan dalam Volksraad dari tanggal 26-29 April 1921. Perdebatan dicetuskan dalam pidato Dirk van Hinloopen-Labberton. Labberton adalah seorang guru yang amat dipengaruhi oleh Annie Besant dengan ide sinkretisme Timur dan Barat. Dia sangat tersentuh pada gerakan dan partai-partai yang muncul di Jawa pada awal dekade (abad ke-20), yang berusaha keras bagi persamaan budaya, sosial, dan politik.
Pada sesi sehari sebelumnya, pada awal tahun, dia menyiapkan sebuah amandemen yang mengomentari laporan dari Komisi Carpenter-Alting:
“…Komisi telah mempertimbangkan tiga nama; Insulinde, Hindia, dan Indonesie untuk memilih salah satu diantaranya. Akhirnya menggunakan Indie, sebab merupakan nama yang sudah dikenal baik. Mungkin saja kata tersebut dikenal dengan baik, tapi juga sebuah sumber daya bagi penolakan. Dalam perjalanan waktu, ketika orang tidak hanya berbicara tentang kepulauan tapi sebuah ansabel yang pantas bagi India. Akan lebih baik menggunakan nama yang memiliki makna “Kepulauan Indian”, Indonesia, sebuah sebutan dalam etnografi yang mengacu pada penduduk asli dan bahasa yang mereka gunakan, merupakan nama terbaik untuk menentukan status yang baru. Indonesia berhubungan dengan sebutan pribumi secara umum atas Noesa Hindia. Tak ada masalah besar dalam pengucapan bagi pembicara bahasa Indonesia. Komisi mempertimbangkan bahwa kata ini “tidak digunakan secara umum”, tapi kenyataannya penggunaan kata tersebut telah tersebar luas dan secara cepat akan menjadi populer”.
Dan dalam memaparkan proyeknya, Labberton secara sistematis menggunakan Indonesia (yang berhubungan dengan kata sifat Indonesich).
Dia menjelaskan amandemen tersebut (yang tidak didiskusikan dalam sesi pembukaan di bulan April) bersama dengan Ch. Crammer dan Th. Vreede, salah seorang yang menjadi inspirasi W. van Ravesteyn. Terhadap artikel 1, amandemen baru tersebut mengajukan nama Hindia-Belanda dengan Indonesia, serta penggantian kata “negeri jajahan dan kepemilikan” dengan “wilayah otonom”.
Sebelum perdebatan, pemerintah memberi catatan pada anggota Volsraad, untuk mengingatkan mereka bahwa sebutan Hindia-Belanda secara esensial mempunyai arti di dalam hukum internasional. Kekuasaan tersebut bertujuan menjelaskan tanggung jawab Belanda dalam mewakili negeri tersebut sebagai duta besar pada tingkat internasional. “Adopsi nama yang baru akan menciptakan penolakan yang tak berguna tanpa membawa sebuah perubahan pada situasi sekarang”.
Kalimat tersebut merupakan alasan sebagai pendirian untuk menolak amandemen Labberton-Cramer-Vreede selama berlangsungnya perdebatan.
Perhatian besar juga diberikan pada kualitas musik dari kata-kata tersebut. Galestin, seorang ahli hukum, mengatakan bahwa kata Insulinde mempunyai nada yang bagus, meski kata Insulinde tak mempunyai arti apa-apa baginya.
Stokvis juga berpendapat bahwa kata Insulinde “enak didengar”. Seperti juga Gastelin, dia berpikir bahwa kata itu pastilah mempunyai sejarah yang indah, sebagaimana diekspresikan oleh artinya. “Bila orang membutuhkan sebuah kata baru untuk mengekspresikan sebuah konsep baru, maka sebuah kata akan menyediakannya”.
Van der Jagt mengatakan bahwa ia lebih suka pada ekspresi Hindia-Belanda; kata itu sangat jelas dan memiliki sejarahnya sendiri dengan tradisi selama 300 tahun. “Nama ini enak didengar bagaikan senandung musik, tidak saja untuk orang Belanda, tapi juga Hindia. Kata ini membawa masa lalu yang kaya, kemasyuran, sebagai sosok yang penting dan sangat berguna tidak hanya buat Belanda tapi juga bagi semua orang di sini”.
“Musik dalam kata Hindia-Belanda, kemungkinan mengacu pada barat,” kata Soetan Toemenggoeng, seorang pegawai administrasi lokal. “Saya juga berkata bahwa kata tersebut berbunyi musik oriental.” Van der Jagt merespon, “Musik oriental? Saya tidak berada pada penekanan seperti itu. Kita tidak mempunyai konsepsi yang sama tentang musik oriental.”
Soetan Toemenggoeng yang adu pendapat dalam beberapa hal dengan Van der Jagt merupakan pejuang yang mempertahankan amandemen Labberton-Cramer-Vreede. Seperti Labberton, dia menggunakan kata Indonesia secara sistematik, yang kadang secara spesifik dalam bahasa Melayu disebut dengan “Indonesia atau Noesa Hindia”. Dia selalu berpidato dalam bahasa Melayu, dan terkadang diinterupsi oleh Van der Jagt, juga dengan bahasa Melayu.
Di samping penandatanganan amandemen, orator lainnya yang turut serta dalam mendukung kata Indonesia adalah Abdoel Moeis, yang seperti Soetan Toemenggoeng merupakan sorang pribumi dari Sumatra Barat. Abdoel Moeis, salah seorang anggota perwakilan dari Sarekat Islam dalam Volksraad, dengan argumentatif siap menentang sebutan atas Hindia-Belanda yang dipakai Agoes Salim yang juga mewakili Sarekat Islam dalam komisi Carpentier-Alting. Baginya Hindia-Belanda menjelaskan sebuah hubungan dari Belanda atas Hindia yang didasari atas kepemilikan dan dominasi. Tipe hubungan yang sama juga diekspresikan oleh kata “daerah jajahan” yang digunakan bagi Hindia.
Muurling, juru bicara pemerintah yang selalu berhadapan dengan komisi Carpentier-Alting, memberikan respon atas pendapat Moeis secara berkelakar: Orang harus mengerti Hindia-Belanda, agar mengerti Bandoengsche Hoogschool (Bandung College), Solosche Prins (Keraton Solo), atau Spaansche Amerika (Spanyol Amerika). Muurling menggunakan kata Indonesier lebih pada pengertian umum atas penggunaan kata Inlander (pribumi) dan meski beberapa orang Belanda mendukung sebutan “daerah jajahan”. Ia membuat kata tersebut jelas.
Dalam perdebatan dia bersikap low profile guna menonjolkan perbedaan opini dan pada saat yang bersamaan, untuk mengisolasi Labberton, yang ia katakan, “Labberton menginginkan sebuah perubahan kasar, sementara pemerintah lebih suka setahap dei setahap; sebuah evolusi”.
Labberton turun ke gelanggang untuk mempertahankan amandemennya dengan pernyataan penjelas bahwa dia siap bersedia menarik amandemen. Dia berbicara kembali setelah Soetan Toemenggoeng, dan mempertukarkan beberapa ucapannya dengan bahasa Melayu. Dia menggunakan bahasa Belanda tapi juga kosakata Melayu dan diekspresikan dalam kata-kata yang kemudian ia terjemahkan. Pada tahap ini dia menampilkan draft counter-project atas draft Belanda dan Melayu. Dia berkata bahwa ia menyiapkan itu semua dengan bantuan aktivis nasionalis dan menampilkan surat wasiat politis. Artikel 1 adalah sebagai berikut:
“Indonesia bersama-sama dengan Belanda, Suriname, dan Curacao membentuk sebuah federasi, kerajaan Belanda menjadi basis yang melengkapi persamaan dan otonomi dari berbagai komponen”.
Selanjutnya permintaan untuk persamaan diekspresikan dalam artikel 1 yang memperhitungkan penggunaan kata Indonesia atau Noesa Hindia. Dia juga meminta hak untuk menentukan pemerintahan sendiri yang diterjemahkan dalam bahasa Melayu “hak kemerdekaan” dan dia juga mencoba untuk mempertegas dengan menambahkan kata yang dipakai dalam bahasa India; Swaraj.
Dua orang pimpinan Boedi Oetomo, Radjiman dan Koesoemo Oetoyo, anggota dari Volksraad, merupakan salah seorang anggota dari Komisi Carpentier-Alting mempunyai suara untuk menggunakan kata Indonesia. Tapi selama perdebatan dalam Volksraad, Koesoemo Oetoyo tidak hadir dan Radjiman memainkan peranan kecil. Sementara Agoes Salim memilih suara untuk Insulinde bagi Komisi Carpentier-Alting, Abdoel Moeis sendiri mendukung Indonesia dalam Volksraad. Ketika bagian dari amandemen Labberton-Cramer-Vreede berkesesuaian dengan artikel 1 dan hendak diadakan pemilihan suara, tak seorang pun anggota Boedi Oetomo atau Sarekat Islam hadir.
Segera setelah Abdoel Moeis kembali dan ambil bagian dalam pemilihan suara atas butir lain dalam amandemen yang sama atau yang lainnya, dia tetap memilih sama dengan Labberton. Diantara penandatangan amandemen kita temukan orang yang bernama Charles Cramer, kelahiran Jawa yang bekerja sebagai insinyur publik, ia merupakan Presiden ISDV, sebuah komponen dari Partai Sosial Demokrat Belanda. Atas nama Komisi Carpentier-Alting, ia memilih Insulinde. Sementara Koch, salah seorang anggota partai sosial demokrat Belanda lainnya memilih Indonesie. Sebagaimana dibuktikan dalam amandemennya, Cramer lalu merencanakan ke arah sebutan Indonesia. Dia berselisih dengan komponen yang keras kepala tentang Indonesia, yaitu Stokvis, anggota lain dari Partai Sosial Demokrat yang posisinya dibela oleh Albarda dalam parlemen.
Volksraad berisi 39 anggota, tapi jumlahnya tak sampai 25 persen pada hari-hari menjelang buan April 1921. Dengan kata lain, kehadiran anggota Volksraad lebih sedikit ketimbang komisi Carpentier-Alting. 23 anggota mengambil bagian dalam pemilihan suara Indonesia. 5 orang lebih menyukai sebutan ini; 3 penandatangan amandemen (berasal dari Belanda) dan dua anggota yang bukan keturunan Belanda: Soetan Toemenggoeng dan Achmad Djajadiningrat. Sementara saudaranya, Hasan, mengajukan kata Insulinde dalam Komisi Carpentier-Alting melawan 18 suara yang menentang. “Apakah ini berarti bahwa kita tetap memelihara Hindia-Belanda?” tanya Labberton ketika dia melihat hasil akhir dari pemungutan suara. “Mungkin saja,” kata sang presiden.
Dalam banyak hal, suara-suara yang masuk bukanlah merupakan aliran antara anggota Belanda dan non-Belanda. Indonesia/Indonesier/Inlander bukanlah dikembalikan kepada Belanda. Para anggota komunis dalam parlemen menerima proposal amandemen yang diajukan Labberton dan kelompoknya, yang agak tergesa-gesa mengacu pada anggota Partai Sosial Demokrat. Bagi para sosialis, mereka menarik kembali preposisi dari Komisi Carpentier-Alting. Scheurer, sebagai orang yang tetap bersikukuh “Antirevolusioner”, mengembangkan sebuah nama dibalik kata-kata Indonesie dan Indonesia. Kita dapat menyangkal bahwa ia tidak banyak menjelaskan berbagai nama: a plot is all the juicier when the names are known, moreover, it helps historians.
Apakah ia (Labberton) ingin berbicara tentang masa “HIndia Poetra”? Kata ini telah menjadi topik penting sejak tahun 1916. Dan di sekitarnya berkumpul para intelektual, yang beberapa diantaranya mulai menggunakan kata Indonesie dalam lingkungan Hindia-Belanda. Kata tersebut dapat secara langsung dihubungkan dengan Suwardi Suryaningrat, yang diusir keu Belanda pada tahun 1913 karena kegiatan antikolonialnya. Pada saat itu (di Belanda) ia bekerja pada buletin bagi Indonesisch Verbond van Studeerenden.
Dalam sebuah perdebatan di parlemen, Presiden IVS Cees van Doorn, seorang misionaris dan teologis Prancis, menyumbangkan pendapatnya tentang nama Indonesie, dimana ia menolak pola pendapat etnolinguistik yang digunakan dalam lingkaran akademis untuk menunjukkan bahwa kata ini tidak dapat dijadikan nama bagi Hindia-Belanda.
Selanjutnya, ia menyimpulkan “untuk sementara” nama Indonesie tak bisa dimasukkan dalam undang-undang. “Karena kata ini masih belum digunakan secara umum di seluruh negeri. Itu merupakan suatu peristiwa yang total antidemokratik jika itu tidak mengusik pimpinan komunis yang selalu menggunakan sedikit atau banyak metode yang despotik. Rakyat lebih suka Oost-Indie atau Oastenrijk. Adalah lebih baik untuk menghilangkan nama Hindia-Belanda. Tak ada orang yang butuh dinamakan sesudah orang-orang lain. Tapi pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan itu tidaklah begitu penting. Bukan nama yang diperhitungkan, tapi apa fakta-fakta yang ada dibalik nama tersebut” (Hindia Poetra, Januari 1921).
Scheur tak secara gamblang berbicara tentang Cees van Doorn. meski cara pandangnya yang dilindungi oleh Presiden IVS, ditujukan pada pergerakan yang muncul diantara para mahasiswa dari Indonesia. IVS merupakan saksi mata dari krisis fatal di tahun 1922. Jurnal mereka diambil-alih oleh organisasi mahasiswa Indonesia, Indische Vereeniging, yang membaptis dirinya pada tahun yang sama menjadi Indonesische Vereeniging. Dari Indonesisch Verbond von Studeerenden yang kemudian menjadi kata Indonesisch merupakan sebuah indikasi dari wilayah budaya menuju sebuah bangsa. Penggunaan kata Indonesia bagi partai-partai antikolonial hanyalah sebuah pertanyaan yang berbulan-bulan. Indonesia kemudian menjadi sebuah nama yang tersebar luas dan menjadi populer. Sebuah perkataan Labberton yang pernah dihadiahi pandangan mencemooh dari para pendengar.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Hak Cipta © 2012-2013 eka Powered by Blogger Designed by Jrswirogas